Ada stereotip bahwa aktivis perlindungan hewan, apalagi yang berkaitan dengan hewan ternak akan selalu berujung pada ajakan untuk menjadi vegetarian. Buku tidak mengajak kita untuk menjadi vegetarian.
Penulis buku ini adalah CEO dari Compassion in World Farming (CIWF), sebuah yayasan yang fokus pada perlindungan hewan ternak dari metode-metode yang menyiksa binatang ternak. Yayasan ini tidak anti industri, namun lebih banyak mengadvokasi cara-cara beternak yang sustainable dan Dilihat dari profilnya sih ketertarikan kepada alam sudah ada sejak penulis remaja, meskipun seluruh karir profesionalnya dihabiskan bersama CIWF dari 1990-Sekarang. Isabel Oakeshott, adalah jurnalis politik yang menjadi co-author buku ini. Ada kemungkinan kualitas tulisan yang baik dan data yang memadai berasal dari pengalamannya sebagai jurnalis.
Buku ini memberikan gambaran yang cukup baik tentang bagaimana Factory Farming bekerja dan efeknya bagi lingkungan dan masyarakat. Tentu saja karena judulnya "Farmageddon" ada banyak efek negatif yang ditimbulkan terutama dari sisi Ekologi, kerugian dari sisi ekonomi sendiri sulit untuk dihitung karena selalu berakhir sebagai eksternalitas. Pertanian monokultur seperti kedelai dan jagung adalah industri yang paling banyak disubsidi dengan anggapan bahwa barang konsumsi ini adalah kebutuhan pokok manusia, kenyataannya setegah dari produksi jagung dan kedelai diserap oleh factory farming. Harga daging yang rendah disebabkan tingginya subsidi dari sisi pakan. Buku ini memberikan gambaran kompleksnya jaringan rantai pasok factory farming dengan baik, sehingga keberadaan factory farming di inggris memiliki andil dengan kemeranaan warga di argentina dan peru.
Isu utama yang diangkat adalah Animal Welfare, ternak diperlakukan dengan kejam untuk memenuhi kebutuhan manusia. GMO dan pembiakan selektif juga mendorong varietas yang tahan banting sebenarnya adalah varietas yang tahan didera derita sepanjang hidupnya untuk berakhir dikonsumen. Isu lain adalah hilangnya keanekaragaman hayati dengan adanya pembukaan lahan untuk monokultur serta penggunaan bahan-bahan kimia untuk menjaga suplai pakan tetap produktif menyebabkan hilangnya habitat yang berefek pada limbungnya keseimbangan ekosistem. Terakhir adalah produtifitas tinggi tidak selalu berakhir dengan penyerapan tinggi, rantai pasok yang panjang juga menghasilkan produk-produk yang terbuang sia-sia.
Di Indonesia model Factory Farming masih sangat jarang, industri ternak memang fokus pada intensifikasi namun belum mencapai skala Factory Farming yang digambarkan di buku ini. Meskipun begitu maraknya all you can eat, variasi ayam geprek yang tak ada habisnya, dan jajanan dengan bahan dasar hasil ternak yang juga disertai dengan kenaikan jumlah kelas menengah, kedatangan Factory Farming hanya tinggal menunggu waktu. Berdasarkan pengamatanku hampir semua peternakan ayam di Indonesia sudah mengadopsi model factory farming. Kesadaran terhadap isu ini penting agar kita lebih aware dan mindful terhadap makanan yang kita konsumsi.
Aku menemukan buku ini ketika sedang kepo Instagram pak Gita Wirjawan, postingan bertahun-tahun yang lalu.
Bagi yang tertarik pada isu lingkungan.
Anggapan bahwa daging (sapi, ayam, babi, dan beberapa ikan seperti salmon dan tuna) yang kita makan berasal dari penggembalaan ekstensif dan lingkungan yang natural tidak sepenuhnya benar. Kemungkinan besar semua daging yang kita konsumsi dipasok oleh peternakan intensif baik skala besar maupun skala kecil.
Peradaban manusia berkembang pesat sejak manusia beralih dari pemburu pengumpul menjadi masyarakat agraris yang bergantung pada hasil pertanian dan ternak. Semua hewan yang didomestikasi memiliki nilai guna untuk manusia. Peternakan tradisional sangatlah sustainable, prosesnya selalu membentuk daur yang membuat ternak produktif dan bahkan menjadi aset yang penting. Daging dan telur ayam dapat digunakan untuk konsumsi, pun kotorannya bisa digunakan sebagai pupuk. Sapi lebih berguna lagi, tenaganya bisa dimanfaatkan untuk mengolah pertanian dan pengangkut barang atau manusia, kotorannya untuk pupuk, susu dan daging untuk konsumsi, kulit dan tulangnya pun masih bisa dimanfaatkan. Walaupun haram bagi muslim, semua sampah dari konsumsi manusia dilahap dengan sukacita oleh babi, jadi tak heran dibeberapa tempat babi dikembangkan sebagai ternak. Hal lain adalah hampir sebagian besar binatang ternak yang kita domestikasi tidak mengkonsumsi makanan yang manusia konsumsi.
Bersamaan dengan domestikasi upaya intensifikasi juga dilakukan. Pembiakan selektif dilakukan juga berefek pada meningkatnya produktifitas dan munculnya varietas unggul. Bahkan manusia sukses menjadikan anjing sebagai alpha male bagi domba-domba. Namun bukan berarti peternakan tradisional tidak pernah memberi dampak negatif ke lingkungan, overgrazing sering terjadi dan bahkan berujung pada desertifikasi, namun ini juga berefek pada jumlah ternak yang kemudian turun, sehingga upaya untuk menjaga equilibrium selalu terjaga sejak level terbawah dan yang perlu digaris bawahi adalah peternakan intensif tradisional selalu memiliki tembok raksasa yang tak dapat tertembus yaitu daya dukung lingkungan.
Factory Farming memiliki tingkatan yang berbeda ketimbang peternakan Intensif tradisional. Peternakan jenis ini lebih fokus pada sentralisasi ternak pada lahan yang terbatas, ternak factory farming biasa dikurung dalam kandang sempit dengan ruang gerak sangat terbatas dan terkadang tidak pernah melihat cahaya matahari seumur hidupnya, siang dan malamnya diatur oleh redup terangnya lampu dalam ruangan. Perikanan tidak lebih beruntung daripada peternakan darat. Salmon misalnya membutuhkan area pergerakan yang luas, namun ditempatkan pada jaring-jaring sempit berbagi dengan ribuan salmon. Factory Farming banyak dikuasai oleh korporasi sehingga akses terhadap penggunaan mekanisasi teknologi modern, bioteknologi, dan perdagangan global memungkinkan Factory Farming berjaya dan secara langsung menyingkirkan peternak tradisional. Tentunya prinsip "Making more with less" bisa diraih secara ekonomi, namun tidak secara ekologi.
Masalah pertama yang muncul dari "Factory Farming" adalah pengelolaan limbah. Dalam jumlah tertentu limbah peternakan adalah pupuk organik gratis, namun Factory Farming berarti Factory Muck, jumlah gas metan yang besar dapat digunakan untuk energi, namun kotoran tetap butuh tempat pembuangan, sedangkan jumlah kotoran yang dihasilkan lebih banyak ketimbang lahan yang memerlukan pupuk, kalaupun ada lahan lain yang membutuhkan permasalahan jarak dan transport membuatnya tidak ekonomis. Kebocoran, kecerobohan dan bahkan kesengajaan pembuangan limbah peternakan ke sistem aliran sungai menyebabkan fenomena alga bloom sehingga menyebabkan munculnya dead zone di perairan, jika alga bloom terjadi delta sungai maka kerugian secara ekonomi dirasakan langsung oleh para nelayan, alga yang busuk tersapu ke bibir pantai menjadikannya tak ramah turis, gas yang dikeluarkan alga yang membusuk juga berpotensi beracun. Air sumur, danau atau resevoir yang tercemar juga menjadi tak layak konsumsi, sehingga masyarakat harus memperoleh air dari sumber lain yang harganya lebih mahal. Jangan bayangkan Factory farm yang terletak di pedesaan berbau fresh. Masalah bau menyengat dari pupuk kandang juga membuat petani yang diharapkan menyerap sebagian limbah ini justru malah enggan menggunakan pupuk kandang dan memilih kompos atau pupuk artifisial yang tidak berbau.